My Coldest CEO

7| Regarding The Wallet



7| Regarding The Wallet

0Setelah selesai ngepel, nyuci baju, mencuci piring, menyapu, dan melakukan kegiatan lainnya. Kini, dengan langkah gontai Felia berjalan ke arah gerbang utama untuk menemui seorang supir taksi yang sudah di pesan Tuan rumahnya.     

"Nona Felia ya?" tanya supir taksi tersebut untuk memastikan jika wanita yang berjalan ke arahnya sesuai dengan permintaan seseorang yang memesan jasanya.     

Felia menganggukkan kepalanya, lalu menampilkan sebuah senyuman tipis. "Iya, benar dengan aku, Felia." jawabnya yang membenarkan pertanyaan sang supir taksi tersebut.     

"Baiklah, kalau begitu silahkan masuk, Nona."     

"Ah tidak, aku ingin di pintu belakang." tolak Felia saat melihat sang supir yang membukakan pintu mobil samping kursi pengemudi itu.     

Sang supir taksi mengangguk kepalanya, paham dengan maksud Felia. "Maaf Nona," ucapnya sambil menutup kembali pintu itu. "Silahkan naik, Nona." sambungnya sambil membuka pintu belakang.     

Mereka mulai masuk ke dalam mobil dengan Felia yang duduk di kursi belakang. Ia tidak terbiasa duduk bersebelahan dengan orang yang mengemudi. Katakan saja dirinya katro atau apapun bahasanya, tapi jika angin AC menerpa permukaan wajah membuat dirinya mual.     

Sudah tahu dengan tujuan yang ingin Felia ambil, sang supir langsung saja melajukan mobilnya sesuai dengan lokasi tujuan.     

Keadaan hening. Antara sang supir taksi yang memang tidak gesit untuk mengajak ngobrol pelanggannya atau Felia yang memang terlalu risih kalau berbicara dengan orang tidak di kenal.     

Sepuluh menit berlalu, Felia mengeluarkan beberapa lembar uang dolar lalu memberikannya ke supir tersebut. "Terimakasih ya, Tuan." ucapnya dengan nada yang sangat sopan. Setelah mendapatkan balasan mengiyakan dari sang supir taksi, ia langsung saja melangkahkan kaki untuk mulai masuk ke dalam pusat perbelanjaan.     

Seperti biasa, ia selalu menjadi pusat perhatian. Bukan karena dirinya cantik mempesona bak Dewi Yunani, atau karena dia adalah seseorang dari keluarga terpandang yang terkenal. Tapi tebak karena apa? Karena pakaiannya yang sangat menarik perhatian.     

Ia sudah terbiasa memakai kaos lama, selagi masih bisa di pakai kenapa dirinya haru repot-repot mengganti? Lagipula warnanya yang luntur tidak membuat bahannya menjadi menerawang lekukan tubuhnya kok.     

Tujuannya hanya satu, membelikan sebuah roti manis dan juga kopi dengan logo terkenal yang memang roti tersebut hanya ada di pusat perbelanjaan untuk Tuan rumahnya. Dan kebetulan yang paling dekat dengan jangkauan rumahnya ya di sini, kalau ingin jauh-jauh pun nanti sudah dapat dipastikan akan memakan uang lagi.     

Mungkin orang-orang berfikir jika dia adalah wanita miskin yang sudah pasti tidak memiliki uang dan hanya sok sok an masuk ke dalam gedung besar pusat semua orang berbelanja ini. Ya sebenarnya pemikiran itu benar sih, tapi ya untuk kali ini ia memegang sebuah ATM yang isinya bahkan ada berjuta-juta dolar. Jika di buat perbandingan dengan ATM miliknya, pasti kalah jauh.     

Melihat orang-orang yang kebanyakan memiliki partner untuk berjalan-jalan di lantai ini, membuat Felia semakin merasa kecil karena dirinya hanya seorang diri.     

Mendengar berbagai macam percakapan dari beberapa pasang kekasih, atau bersama teman, dan bahkan ada yang berkeluarga membuat Felia menghembuskan napasnya. Kalau bukan untuk sang Tuan rumah, ia tidak ingin menginjakkan kaki di keramaian seperti ini.     

Dengan menggenggam erat tas selempang yang kemarin dibenarkan oleh Leo karena tiba-tiba putus, ia pun melihat ke arah seorang wanita paruh baya yang sepertinya tengah buru-buru.     

"Terimakasih," wanita tersebut mengambil sebuah kotak dari seseorang yang tengah berjualan... ah entahlah ia tidak tahu apa itu. Yang ia tahu kalau kini wanita itu sudah lenyap dari antrian yang cukup panjang.     

Glek     

Felia melihat jika dompet dari wanita itu terjatuh, ia mengalihkan pandangannya ke kanan dan ke kiri takut ada orang yang mengambilnya atau sadar dan mengejar sang pemilik, namun nihil.     

"Ah sepertinya aku harus mengembalikan dompet itu, pasti banyak barang-barang penting." gumamnya dengan hati malaikat yang memang selalu melekat di hatinya. Ia tidak pernah ingin orang lain menghilangkan dengan ceroboh barang yang sangat penting seperti ini.     

Berlari kecil dengan melesat ke arah dompet yang tergeletak di lantai itu membuat Felia langsung menjulurkan tangannya laku dengan cepat mencari keberadaan wanita itu. "Ah kemana dia? Aku kehilangan dia, bagaimana kalau nanti ada yang ingin di belanjakan dan dompetnya tidak ada?" ucapnya dengan kebingungan, terlihat dari raut wajahnya yang sayu.     

Iya memang dirinya sangat peduli dengan orang lain, padahal sebaiknya pun tidak tahu akan berimbal balik terhadapnya atau tidak.     

Ia masih mengedarkan pandangannya, lalu melihat wanita tersebut yang mulai naik eskalator, berganti lantai yang menunjukkan kategori pakaian para wanita lebih ataupun laki-laki.     

"Ah itu dia!" serunya dengan nada kecil.     

Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan takut nanti kehilangan jejak lagi, Felia langsung melesat walaupun harus mendengarkan nada umpatan karena dirinya malah berlari-larian di tengah-tengah manusia yang sedang berlalu lalang. Tapi dirinya tidak peduli.     

Sesampainya di lantai dua, ia melihat wanita itu dan langsung saja berlari, berjalan tepat di belakangnya dengan raut wajah bingung ingin menegurnya atau tidak.     

BRAK     

"Awsh.." Felia meringis kala jidatnya menabrak punggung wanita yang sedari tadi ia ikuti itu. Ia menatap wajah yang kini sudah menoleh ke arahnya bersamaan dengan tubuh yang memutar.     

"Kalau jalan tuh lihat-lihat gak perlu pakai nabrak saya segala, lagian pakai baju lusuh begini pakai acara masuk ke dalam toko besar!" seru wanita tersebut, kira-kira memang benar penampilannya seperti Nyonya dari suami konglomerat. Apalagi saat melihat make up dengan alis tajam, menambah kesan sinis yang mungkin saja bisa mengintimidasi seseorang yang ditatap dengan ketidaksukaan.     

Felia yang mendengar bada bicara dengan volume meninggi itu pun langsung saja menundukkan kepalanya dengan sopan, lalu sedetik kemudian menatap wanita yang berada di hadapannya dengan sorot mata teduh. "Ta-tapi Bu, maaf--" ucapnya dengan tergagap karena kini ia sudah sangat malu, menjadi tontonan orang yang berlalu lalang berkat teriakan wanita tersebut.     

"Tapi tapi apa, hah?!" tanya wanita itu dengan alis yang keduanya naik ke atas. Terlihat menyebalkan, terlebih lagi memotong ucapan Felia yang belum tuntas itu.     

"Maaf, ini tadi dompet ibu terjatuh makanya aku ikutin ibu sampai ke dalam dan tidak tahu kalau ibu akan berhenti tiba-tiba." ucap Felia dengan nada kecil sambil menjulurkan dompet yang tadi di temui dirinya, bahkan kini kedua alisnya melakukan hal keterbalikan dari alis wanita itu, menurun.     

Mengambil dompet tersebut dari tangannya, lalu meneliti isinya, memeriksa ada yang kurang atau tidak. Setelah memastikannya dengan aman, langsung di masukkan kembali ke dalam tas jinjing yang entah kenapa sepertinya berharga mahal itu.     

"Ekhem, ada apa ya?"     

Felia dan wanita tersebut sontak menolehkan kepalanya saat mendengar suara bariton.     

Melihat seorang Leonardo Luis sudah berada tidak jauh dari pijakan Felia saat ini membuat dirinya sedikit tersentak. Bagaimana bisa bertemu dengan laki-laki itu lagi? Kebetulan yang memang benar-benar kebetulan.     

Sedangkan wanita tersebut, peluh cemas sudah tercetak kecil di pelipisnya. Ia tahu kalau dirinya yang salah karena sudah bersikap seperti tadi. "Eh? Tuan Leo?" ucapnya yang ikut tersentak dengan kehadiran Leo. "Eh, ini Tuan, tidak ada masalah apapun." sambungnya.     

Felia diam saja, ia tidak ingin mencari pembelaan atau apapun itu. Diperlakukan seperti ini di depan umum sangat membuat ke dirinya malu.     

Terkadang, kesederhanaan itu selalu di pandang remeh oleh banyak orang. Tanpa mereka sadari kalau tanpa adanya 'kesederhanaan' pasti tidak ada 'kekayaan'.     

"Baiklah, silahkan anda meminta maaf karena sudah berkata sekasar itu dengan seseorang yang tidak bersalah." ucap Leo.     

Felia menolehkan kepalanya untuk menatap lebih lekat laki-laki yang datang seperti layaknya super hero itu. Ah memang sangat manis, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk terbang sampai awan.     

"Ta-tapi..." ucap wanita itu dengan gugup.     

"Anda sama saja seperti mencela orang lain," ucap Leo dengan nada tenang namun Felia tahu jika setiap di balik ketenangan itu ada sesuatu yang berbahaya.     

Felia menggelengkan kepalanya dengan gerakan kecil, ia tidak masalah kok diperlakukan seperti ini.     

"Maaf kan aku, dan terimakasih sudah mengembalikan dompet ku." ucapnya wanita itu.     

Mendengar perkataan maaf yang terdengar kurang tulus di telinga Felia itu membuat dirinya menganggukan kepala. "Sama-sama Nyonya, aku permisi dulu ya." ucapnya sambil berjalan cepat karena kini dirinya sudah menjadi pusat perhatian banyak orang.     

Malu. Itu yang ia rasakan, ingin menenggelamkan diri saat ini juga di bathtub yang berisi air dingin supaya tubuhnya tidak setegang ini. Ah tapi dirinya lupa jika ia tidak pernah punya bathtub, sungguh mengenaskan.     

Ia dengan cepat berjalan masuk ke dalam sebuah toko roti yang bahkan wangi harumnya pun keluar dari toko. Pantas saja Tuan-nya sangat gemar membeli roti ini, ternyata memang sesuai kualitas.     

Memesan sepuluh buah roti manis untuk persediaan esok hari juga. Memberikan ATM tersebut pada sang kasir, menekan angka sandi, lalu megambil kartu tersebut kembali di masukkan ke dalam tas selempang-nya.     

"Terimakasih," ucapnya sambil mengambil sebuah plastik dengan logo terkenal roti itu yang di julurkan oleh kasir. Sistemnya memang seperti itu, bayar dulu baru boleh memegang plastik yang berisikan kemasan dan roti di dalamnya.     

Ia melangkahkan kakinya, lalu ke tujuan selanjutnya. Membeli kopi untuk sang Tuan.     

Melihat kedai kopi besar yang berada di dalam pusat perbelanjaan, ia langsung saja membelokkan tubuhnya untuk masuk ke dalam sana.     

Caffe Americano menjadi pilihannya saat ini, membeli kopi sekaligus dengan botol Tumblr di sana karena supaya membawanya lebih praktis dan tinggal menunggu nomor antrian saja.     

Ia mengalihkan pandangannya, niatnya hanya ingin melihat-lihat desain kedai kopi yang sangat terkenal ini. Namun tiba-tiba kedua bola matanya melihat seorang laki-laki yang tadi menemui dirinya di toko baju. Daripada nanti urusannya makin panjang dan bertemu dengan Tuan kaya itu lagi, lebih baik kini dirinya langsung saja merebut majalah yang tergantung di rak. Menutupi wajahnya, lalu mulai merapalkan berbagai macam doa supaya tidak bertemu kembali dengan Leo.     

"Kenapa sih itu orang kayaknya jadi ngikutin aku melulu,"     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.